Lihat dan Temukan sesuatu yang Baru

Kamis, 24 Februari 2011

Sejarah Migrasi di Asia Tenggara


PENDAHULUAN
Berbicara migrasi jelas tidak terlepas mengenai permasalahan perpindahan suatu kelompok orang atau masyarakat dari tempat yang satu ke tempat lain. Di Indonesia pun kalau di tilik secara historis migrasi sudah berlangsung cukup lama, bahkan juga bisa kita lihat yang terjadi pada jaman penjajahan Belanda, dimana orang Indonesia di bawah ke beberapa pulau di luar Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi dan beberapa pulau lainya.bahkan juga ke Negara lain seperti di Surename tepatnya di Amerika Latin.
Sekarang migrasi juga bisa kita temukan di beberapa masyarakat seperti migrasi orang Madura karena faktor peperangan Suku di Kalimantan. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggal serta harta bendanya untuk menyelamatkan diri dari peperangan yang menewaskan banyak orang. Keadaanya yang tidak memungkinkan untuk membuat mereka bertahan dengan kondisi serta situasi yang sangat sarat dengan mengancam nyawa mereka dan keluarga serta kelompok sukunya sehinngga mendorong untuk melakukan migrasi ketempat yang lebih aman.
Selain itu hal serupa juga yang menimpa masyarakat Muslim Ambon yang terpaksa bermigrasi ke tempat lain karena perang Agama yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Nasib mereka hampir sama seperti yang dirasakan oleh suku Madura yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal serta harta benda mereka untuk menyelamatkan diri dari erena peperangan. Factor peperang Suku, Agama, kelompok serta golongan belakangan ini menjadi factor yang banyak terjadi di tanah air ini untuk memaksa orang untuk melakukan migrasi ketempat lain. Bahkan migrasi lintas Negara pun beberapa tahun terakhir ini kerap sering terjadi selain faktor ekonomi dan juga banyak faktor lain yang mendorong orang untuk melakukan migrasi seperti yang di jelaskan di bawah ini oleh penulis sendiri dengan beberapa data yang menjadi rujukan.
1. Defenisi Migrasi
 Migrasi adalah perpindahan masyarakat atau orang ketempat yang jauh dalam waktu yang cukup lama dan tidak kembali lagi serta membentuk masyarakat sendiri di tempat itu. Dan mereka akan mendapat identitas baru dari masyarakat yang mereka tempati.
 Migrasi adalah perpindahan masyarakat atau orang ketempat yang jauh dalam waktu yang cukup lama dan tidak kembali lagi serta membentuk masyarakat sendiri di tempat itu. Dan mereka akan mendapat identitas baru dari masyarakat yang mereka tempati. Dan Ada pula yang mendefinisikan Migrasi yakni perpindahan sebuah kelompok orang ke daerah lain dengan waktu yang cukup lama akan tetapi bisa kembali lagi kedaerah asalnya.
 Ada pula yang mendefinisikan Migrasi yakni perpindahan sebuah kelompok orang ke daerah lain dengan waktu yang cukup lama akan tetapi bisa kembali lagi kedaerah asalnya.
2. Konsep- konsep Migrasi
Pertama, konsep migrasi internasional mengandung makna pergerakan manusia yang melewati batas-batas negara (internasional). Dari konsep ini ada beberapa elemen penting yang perlu dicermati. Pertama, konsep negara bangsa (nation state).
konsep migration:Migration (Migrasi)
secara bahasa mempunyai arti padanan perpindahan, bergerak, mobile, merantau,
berpetualang, berkelana. Migrasi secara makna yaitu perpindahan penduduk dari
suatu tempat ke tempat lainnya untuk mencari penghidupan baru, mencari tempat
tinggal baru dan membangun kehidupan baru.
Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasil, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel. 1973 dalam Rusli.1996: hal 136). Ke dalamnya termasuk baik dimensi gerak penduduk permanen maupun dimensi non-permanen. Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen, sedangkan dimensi gerak penduduk non-permanen terdiri dari sirkulasi dan komunikasi (Rusli.1996: hal.136). Defenisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefenisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu.
3. Macam-macam Migrasi
1. Migrasi masuk (In Migration)
Masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan (area of destination),
2. Migrasi Keluar (Out Migration)
Perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal (area of origin),
3. Migrasi Neto (Net Migration)
Merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari pada migrasi masuk disebut migrasi neto negatif.
4. Migrasi Semasa/Seumur Hidup (Life Time Migration)
Migrasi semasa hidup adalah mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat kapan pindahnya.
5. Urbanisasi (Urbanization)
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa atau daerah ke kota. Urbanisasi terjadi karena adanya anggapan bahwa kota adalah tempat untuk merubah nasib, tempat untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan tempat untuk mencari kesenangan. Urbanisasi merupakan salah satu indikator dari tingkat kemajuan ekonom suatu negara atau wilayah. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan/atau akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan alami penduduk kota. Definisi urban berbeda-beda antara satu Negara dengan negara lainnya tetapi biasanya pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah pemukiman lain yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan daerah kota biasanya dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator mengenai kegiatan ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status adrninistrasi suatu pemusatan penduduk.
Jika urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar, mengapa proses urbanisasi tetap harus dikendalikan atau diarahkan? Ada dua alasan mengapa urbanisasi perlu diarahkan. Pertama, pemerintah berkeinginan untuk sesegera mungkin meningkatkan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa meningkatnya penduduk daerah perkotaan akan berkaitan erat dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara. Data memperlihatkan bahwa suatu negara atau daerah dengan tingkat perekonomian yang lebih tinggi, juga memiliki tingkat urbanisasi yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja. Kedua, terjadinya tingkat urbanisasi yang berlebihan, atau tidak terkendali, dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada penduduk itu sendiri. Ukuran terkendali atau tidaknya proses urbanisasi biasanya dikenal dengan ukuran primacy rate, yang kurang lebih diartikan sebagai kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu negara atau wilayah terhadap kota-kota di sekitarnya. Makin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik dalam proses urbanisasi. Sayangnya data mutahir mengenai primacy rate di Indonesia tidak tersedia.
Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi
 Kehidupan kota yang modern dan mewah
 Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
 3. Banyak lapangan pekerjaan di kota
 4. Di kota banyak gadis cantik dan laki-laki ganteng
 Pengaruh buruk sinetron Indonesia
 Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan
berkualitas

Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi
 Lahan pertanian yang semakin sempit
 Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya
 Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
 Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
 Diusir dari desa asal
 Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

6. Transmigrasi (Transmigration)
Transmigrasi adalah salah satu bagian dari migrasi. Istilah ini memiliki arti yang sama dengan 'resettlement' atau 'settlement'. Transmigrasi adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk dari suatu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Transmigrasi diatur dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1972. Transmigrasi yang diselenggarakan dan diatur pemerintah disebut Transmigrasi Umum, sedangkan transmigrasi yang biaya perjalanannya dibiayai sendiri tetapi ditampung dan diatur oleh pemerintah disebut Transmigrasi Spontan atau Transmigrasi Swakarsa.

4. Model Migrasi; Perubahan apa yang di sebabkan oleh Migrasi?
Perubahan-perubahan akibat Migrasi, (1) penduduk semakin padat serta lahan akan semakin sempit akibat melambungnya jumlah penduduk, terlebih pada masyarakat perkotaan (2) rawan akan konflik akibat bercampurnya beberapa jumlah penduduk yang berbeda dari budaya yang satu dengan budaya yang lain yang mendiami daerah yang sama (3) muncul identitas baru yang berbeda dari sebelumnya.
5. Penyebab Migrasi
 Perang. Akibat perang orang bisa melakukan migrasi ketempat lain yang lebih aman, dimana mereka akan berusaha untuk mempertahankan hidupnya sekaligus menghindari diri mereka dari arena peperangan. Mereka seakan tidak merasa nyaman jika terlibat serta berada dimana konflik perang itu berlangsung. Sebagaimana yang terjadi pada perang Dunia I dan Ke II dimana orang-orang Jerman melakukan migrasi kedaerah yang lebih aman seperti bermigrasi ke Negara tetangganya yakni Polandia.
 Perdagangan. Akibat perdagangan orang juga bisa melakukan Migrasi hal ini juga bisa kita temukan di Sulawesi-Selatan. Banyaknya orang-orang Bugis yang ada di Malaysia, Singapura dan wilayah Indonesia lainnya, ini telah membuktikan bahwa perdagangan juga mempunyai andil bagi orang untuk melakukan bermigrasi. Dulu, orang yang melakukan perdagangan dengan pihak luar, dan ketika mereka ada di pulau yang lain dan merasa nyaman untuk tinggal di daerah tersebut maka mereka memutuskan untuk tinggal dalam waktu yang cukup lama dan beranak-pinak di tempat itu. Tanpa di sadari mereka telah melakukan yang namannya Migrasi.
 Bencana Alam. Selain itu, bencana alam juga mendorong orang untuk melakukan Migrasi ketempat yang lebih aman bagi keluarga serta masyarakat yang mengalami bencana. Mereka akan berusaha untuk mencari atau mendapatkan tempat yang baru untuk dijadikan sebagai temapat tinggal bagi keluarga dan mendirikan kampung yang baru. Mereka akan menata hidup yang lebih baik lagi dengan kondisi yang ada. Hal ini, bisa kita temukan dalam masyarakat Dompu NTB yang melakukan Migrasi ketempat yang lebih aman ketika meletusnya gunug Tambora. Dengan meletusnya gunung Tambora ini memaksa masyarakat setempat untuk mencari daerah yang baru untuk dijadikan sebagai tinggal mereka.
 Alasan Politik
Kondisi berpolitik suatu daerah yang panas atau bergejolak akan membuat penduduk menjadi tidak betah atau kerasan di wilayah tersebut.
 Alasan Sosial Kemasyarakatan
Adat istiadat yang menjadi pedoaman kebiasaan suatu daerah dapat menyebabkan seseorang harus bermigrasi ke tempat lain baik dengan paksaan maupun tidak. Seseorang yang di kucilkan dari suatu pemukiman akan dengan paksan melakukan kegiatan bermigrasi.
 Alasan Agama atau Kepercayaan
Adanya tekanan atau paksaan dari suatu ajaran agama untuk berpindah tempat dapat menyebabkan seseorang melakukan migrasi.
 Alasan Ekonomi
Biasanya orang miskin ataui golongan bawah yang mencoba mencari keuntungan dengan melakukan migrasi ke kota. Atau biasa juga kebalikan di mana orang yang kaya pergi ke daerah untuk membangun atau berekspresi bisnis.
 Alasan lain
Contohya; seperti alas an pendidikan, alasan pekerjaaan, alasan keluarga, alasan cinta danlain sebagainya.

6. Kota yang terbentuk akibat Migrasi
Ada pun salah satu Kota yang terbentuk akibat Migrasi yakni, Singapur. Kota Singapur sekaligus sebagai nama Negara adalah terbentuk akibat dari Migrasi orang-orang luar. Singapur kalau di tilik secara history merupakan tempat persinggahan bagi pedagang-pedagang Asia maupun Eropa. Di singgapur ini dulunya tidak memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menarik perhatian bagi pedagang kala itu. Akan tetapi daerah ini memiliki letak yang strategis untuk dijadikan sebagai tempat singgah sementara bagi pendatang yang melakukan perjalanan yang cukup jauh seperti ke Kanton misalnya (sekarang daerah Cina selatan). Lambat laun pulau ini dijadikan sebagai tempat tinggal dengan cara menebangi pohon di pulau tersebut. Ini cikal bakal adanya orang mendiami pulau yang bernama Singapur (sekarang) ini. Dengan seiring berjalannnya waktu Singapur menjadi tempat dagang yang cukup ramai di kunjungi oleh orang luar seperti, Orang Bugis, Tiongkok (Cina) Melayu, dan pada masa penjajahan Inggris pulau ini dijadikan sebagai salah satu tempat yang mendapat perhatian yang cukup penting bagi pemerentahan Inggris.
Maka dari itu, tidak mengherankan di Singapur sekarang masyarakatnya yang sangat plural, ada yang berkulit Hitam (Afrika), Putih, yang Sawo Matang dan ada juga warga negaranya yang datang dari Cina. Migrasi orang-orang ke Singapur mempunyai banyak factor, ada yang disebabkan oleh permasalahan yang terjadi di Negara dimana ia tinggal sebelumnya, serta ada juga karena factor ekonomi yakni menanam Bisnis, sehingga lambat laun menjadi warga Negara Singapur.
Singapur sudah menjadi sebuah kota yang cukup ramai dan sebanding dengan kota-kota lain di dunia pada Abad ke XXI ini. Dengan plural masyarakatnya ini juga menjadi factor pertumbuhan serta perkembangan kota Singapur hari ini. Kemajuan di segala bidang seperti pendidikan, bisnis juga menjadi pemicu kemajuan kota ini. Masyarakat yang berasal dari berbagai Negara yang mendiami Singapur kini mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah penduduk yang semakin “membumi” membuat lahan di pulau ini sulit untuk di temukan, hampir disemua tempat di jadikan sebagai tempat property.
Kota Singapur memang lahir dari Migrasi dari berbagai Negara yang menghuni pulau ini. Baik dari beberapa Abad yang lalu sampai hari ini, masih bisa kita temukan orang-orang dari luar yang menimba ilmu atau factor untuk datang ke Singapur dan kemudian karena merasa aman dan betah tinggal di Singapur sehingga mendorong mereka untuk tinggal sekaligus menjadi warga Negara Singapur. Tempat yang strategis juga menjadi factor yang cukup besar dalam kemajuan kota Singapur, hubungan dari negara tetangga seperti Malaysia dan negara Asia, Eropa pada umumnya menambah kemajuan tersendiri bagi kota ini. Pluralarisme budaya serta masyarakat yang mendiami serta menghuni kota Singapur menambah keunikan bagi orang lain untuk datang ke Singapur.
Dan kunon ceritanya, daerah yang menjadi kota Singapur sekarang pertama kali di tempati oleh orang-orang Bugis yang melakukan perdagangan dengan Kerajaan-Kerajaan lain baik itu dengan para pedagang yang datang dari Nusantara maupun dengan pedagang yang datang dari Cina dan juga dengan pedagang yang datang dari Timur-tengah dan kemudian mereka bertemu di tempat ini untuk melakukan jual beli serta pertukaran barang dagangan. Bahkan orang Bugis yang datang ke pulau ini dengan kapal-kapal yang bermuatan baik itu Budak, maupun beras atau kayu cendana, mereka juga datang dengan sanak kelurganya. Kemudian menempati pulau ini serta menjadikanya sebagai tempat singgah untuk sementara sambil menunggu pedagang lain yang datang untuk melakukan transaksi seperti biasanya mereka lakukan. Dan lambat laun sebagian dari mereka tidak ingin lagi pulang kekampung halamanya dan membuka lahan kemudian menjadikannya kampung.
Bahkan pedagang-pedagang luar pun juga memanfaatkan tempat ini untuk dijadikan sebagai tempat tinggal untuk sementara sambil menunggu arah angin untuk kembali ke negerinya, bahkan sebagian dari mereka seperti yang dilakukan oleh orang Bugis mereka juga tinggal di tempat ini dalam waktu yang cukup lama dan bahkan mereka memiliki rumah dan beranak-pinak, tanpa di sadari mereka telah melakukan Migrasi dari Negara asalnya ke Singgapura.
Ada pun yang factor kemajuan Singgapura di waktu dulu, salah satu di antaranya karena tempat ini tidak di pungut pajak oleh kerajaan manapun atau bisa di bilang sebagai tempat transaksi yang bebas dari aturan seperti yang di terapkan di Pelabuhan-pelabuhan yang di kuasai oleh Raja seperti di Malaka, dan Pelabuhan yang di kuasai oleh kerajaan tertentu. Sehingga mendorong para pedagang dari mana pun untuk melakukan transaksi jual beli serta perukaran barang yang mereka bawah. Dan tanpa di sadari mereka yang sama-sama mendiami daerah ini mengembangkan kehidupan social yang baru yang tentu berbeda dengan kehidupan di mana ia tinggal di negerinya.
Percanpuran serta pola hidup yang berbeda sebelumnya di antara beberapa orang yang tinggal di Singgapur kala itu, dan seiring berjalan waktu mereka dapat berbaur antara satu dengan yang lainnya, dan menjadikan daerah ini mengembangkan budaya serta nilai-nilai sendiri yang tentu berbeda dengan lain. Masyarakatnya mengembangankan struktur social yang berbeda dengan daerah asal mereka sebelumnya baik itu dari aturan kehidupan sehari-hari maupun di bidang hukum dan pendidikan sekalipun tentu sangat berbeda dengan Negara lain.

7. Migrasi Antar Negara dan Trafficking

1. Migrasi dan Penyelundupan Manusia
Ketika sistem Migrasi dunia memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi, baik bagi Negara-negara pengirim maupun penerima, tidak sedikit pula persoalan yang dihadapi dalam proses Migrasi ini ditimbulkan. Salah satu diantaranya adalah persoalan perdagangan/penyelundupan manusia secara ilegal yang sering disebut Traficking in Humanity. Traficking merupakan migrasi Internasional yang illegal dan tidak terdokumentasi sehingga dikategorikan sebagai penyelundupan manusia dengan cara penipuan, pemaksaan dan kekerasan. Para pengamat memberikan definisi Tafficking sebagai keseluruhan tindakan yang terlibat dalam proses rekrutmen dan/atau bepergian seseorang perempuan dalam suatu Negara atau penyeberangan lintas Negara untuk mencari pekerjaan atau melayani kaum pria.
Dalam rangka memperlancar tindakan ini, dilakukan dengan kekerasan atau dalam tekanan kekuasaan dan kedudukan yang dominan oleh kelompok tertentu. Pada dewasa ini anak dibawah umur dan kaum perempuan yang merupakan jumlah terbesar dari tindakan ini.
Pada tahun 2000, di seluruh dunia diperkirakan antara 700 ribu sampai 2 juta kaum perempuan dan anak mengalami penyelundupan ilegal. Dari jumlah tersebut diatas kira-kira 200.000 sampai 225.000 diantaranya terjadi diantara Negara-negara Asia Tenggara. Walaupun demikian semua angka tersebut sulit dipastikan sebab penyebab penyelundupannya dilakukan secara tersembunyi (klandestan) untuk menghindari adanya tuntutan pembersihan terhadap prilaku kriminal. Namun angka ini meningkat pada tahun 2003, laporan dari Bureau of Public Affarairs, US Departemen of Sate pada bulan Juli 2003 memaparkan bahwa tiap tahun bahwa 800.000-900.000 manusia telah diselundupkan dengan mengabaikan batas-batas internasional dan buruh. Celakanya, penyelundupan tersebut dilakukan melalui jejaring kejahatan internasional (transnational crimanaliti) yang terorganisasi secara rapi, baik melalui jalur Negara perantara maupun langsung.
Setiap tahun jumlah orang dewasa dan anak-anak yang menjadi korban Trafficking terus bertambah. Mustahil untuk mendapatkan angka jumlah korban secara pasti, namun menurut suatu perkiraan yang dikeluarkan sekitar 50 ribu orang menjadi korban Trafficking setiap tahunnya di Afrika 75 ribu di Eropa 100 ribu dan di Amerika Latin dan Karabia, serta 375 ribu di Asia. Perempuan dan anak-anak dibujuk, dipaksa, dan jual sebagi pekerja seks, buruh murah serta dipekerjakan rumah tangga, pekerja migran, maupun sebagi istri pesanan atau mail order bride.
Pemaksaan dan kekerasan dalam Trafficking ini menyebabkan para kaum perempuan dan gadis terlibat sebagai pekerja seks (wanita tuna susila) sehingga pemerentah mengambil suatu perjanjian untuk membasmi tindakan penyelundupan manusia tersebut. Kerja sama Negara-negara yang termasuk dalam wilayah kawasan Asia Selatan sejak tahun 2002 telah mendatangani suatu konvensi pencegahan dan pembasmian terhadap penyelundupan manusia khusus para kaum wanita dan anak-anak yang terlibat dalam protitusi.
Selain itu di Kanada, USA, Rusia, serta sebagian Negara-negara yang ada di Asia Pasifik telah mengambil inisiatif untuk melakukan ratifikasi untuk konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak wanita, anak-anak dan para migran untuk melawan tindakan penyelundupan manusia.



2. Faktor Penyebab Trafficking
Trafficking merupakan suatu bagian dari dinamika perpindahan penduduk. Dalam hal ini migrasi tenaga kerja pada suatu titik bisa berlangsung secara sukarela untuk kepentingan jangka pendek dan dapat dilakukan secara paksa. Perpindahan tenaga kerja baik secara sukarela maupun paksa bukanlah fenomena baru. Misalnya, pada zaman kolonialisasi penduduk lokal dipindahkan baik melalui perbudakan, perdagangan karena utang, atau pun perpindahan yang dilakukan oleh Negara dalam hal penjahat kriminal atau pengasingan politik.
Namun ada perbedaan mandasar dengan Trafficking yang terjadi pada Abad masa kini, yaitu migrasi antara Negara. Dalam arus migrasi ini, terdapat fenomena lain yang muncul yakni feminisasi migrasi yang dominasi oleh anak gadis dan perempuan. Perkerjaan yang lakoni oleh gadis-gadis atau perempuan korban penyelundupan manusia bercirikan 3D: dirty, ni dirty dan dangerous atau kotor, tidak memiliki martabat dan bahaya.
Salah satu faktor terjadi perdagangan manusia adalah akibat ambruknya sistem ekonomi lokal, sehingga banyak anak-anak, gadis dan perempuan yang diekspos ke tempat-tempat kerja global untuk mencari pendapatan. Situasi ini semakin merajalela di Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi parah serta Negara-negara yang mengalami perpecahan. Disamping itu, pekerjaan yang tersedia dalam negeri tidak sesuai dengan pekerjaan pilihan mereka untuk tetap tinggal dikampung halamamannya. Dengan kata lain, pekerjaan yang ada tidak memberi harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi para anak gadis itu. Bagi para calon migran sendiri, mereka tidak mengetahui apakah calon tenaga kerja atau para rekruter itu resmi atau gelap. Yang mereka tau hanyalah bahwa ada tawaran suatu pekerjaan disuatu tempat di suatu Negara, dan dengan jumlah tertentu atau dengan kesepakatan terentu, mereka bisa direkrut untuk pekerjaan itu. Orang-orang seperti itu, baru kemudian menyadari bahwa telah memasuki secara gelap/illegal. Dan para migran gelap inilah yang posisinya sangat rentan, tanpa perlindungan.
Factor-faktor pendorong di atas juga terkait erat dengan diskriminasi jender dalam keluarga dan masyarakat. Banyak anak gadis yang berupaya melarikan diri dari ketidakadilan jender, beban kerja yang terlalu berat di rumah, atau mereka dipaksa kawin oleh orang tua. Dalam kebanyakan budaya kita di Indonesia, anak gadis anak gadis dan perempuan yang pertama dikorbankan. Misalanya, anak perempuan yang pertama kali akan diberhentikan dari sekolah apabilah kelurga mengalami krisis ekonomi atau krisis pangan. Bahkan tidak jarang keluarga atau orang tua menjual anak gadis mereka untuk bekerja demi meringankan beban keluarga.

3. Dampak Yang di Timbulkan
Tidak sedikit dampak yang ditimbulkan dari Trafficking ini, di satu sisi dampak psikologis, namun disisi lain adalah mencari keuntungan sosial ekonomi bagi para korban tersebut:
1. Akibat sering kali anak gadis dan perempuan dalam lingkungan domestik karena banyaknya permintaan akan kerja domestik yang mampu dikerjakan oleh para kaum hawa dan kurang berpendidikan. Karena sebagian besar kerja dilakukan di dalam rumah, maka pekerjaan-pekerjaan itu kurang atau tidak dapat di awasi. Di samping itu, sifat pekerjaan yang tersedia baik bagi tenaga kerja migran serta tenaga yang diperdagangkan ini justru mengingkari hak asasi manusia karena pekerjaan yang ada adalah pekerjaan gelap. Majikan berkepentingan untuk menutup-nutupi para pekerja mereka yang gelap karena mereka merasa perlu menyembunyikan sesuatu. Sebagai akibatnya, majikan seringkali mengurung secara fisik para tenaga kerja gelap ini. Kombinasi antar dua faktor yaitu faktor penarik (push) dan pendorong (pull) tersebut yang menciptakan terbentuknya tenaga kerja murah dan berketerampilan rendah, hal ini tidak hanya kita di Indonesia namun dirasakan juga di Negara-negara sedang berkembang maupun di Negara-negar maju.
2. Adalah keuntungan social ekonomi, sekalipun tindakan itu adalah pekerjaan yang kotor, namun bila dikaitkan dengan keuntungan dari sisi ekonomi, maka tidak hanya para korban yang merasa memperoleh keuntungan material dari pekerjaan tersebut, tetapi majikannya. Sekalipun, penyelundupan tersebut dilakukan secara illegal, tetapi sering kali korban memiliki hubungan kontak dengan anak saudaranya di kampong halaman sehingga sesekali mengirimkan sedikit uang yang dihasilkannya. Hal ini terlebih terjadi pada orang tua korban yang berasal dari keluarga ekonomi lemah. Indonesia dalam fenomena Trafficking memiliki letak yang stategis, menjadikan Indonesia sebagai Negara penting dalam jalur ekonomi dan transportasi internasional, sekaligus rawan terhadap kejahatan penyelundupan dan perdagangan manusia. Perdagangan tenaga kerja secara ilegal ke jumlah Negara tetangga, bahkan diantara mereka dipaksa berprofesi sebagai pekerja seksual.

Alan Boulton, Direkturr ILO Indonesia, dalam memperingati Word Day Against Child Labor (12 Juli 2003), memperingatkan bahwa perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual dan tenaga buruh dalam mencapai pada kondisi yang memprihatikan. Sebagian dari mereka diselundupkan ke Negara-negara tetangga seperti, Singapura, Malaysia, Taiwan dan Jepang. Yang lebih memalukan laporan ILO untuk memperingati hari yang sama, mengungkapkan lebih dari 10.000 anak Indonesia di bawah 18 tahun di perdagangkan sebagai pekerja seksual di 5 kota besar di negaranya sendiri. Kondisi masalah perdagangan dan penyelundupan manusia telah menempatkan Indonesia pada tiga terendah dalam Trafficking Inpersons Report (TIP yang dikeluarkan oleh Bureau of public Affaiers, US Departemen of state 2003. Dengan demikian, Indonesia di kategorokan kedalam kelompok Negara-negara yang tidak memenuhi standar minimum untuk menanggulangi masalah perdagangan dan penyelundupan manusia dan tidak membuat upaya signifikan dalam masalah tersebut sekalipun beberapa upaya perbaikan legislasi pemerentah, seperti insiatif Indonesia dalam membuka pintu bagi kerja sama multilateral dengan menyelenggaran Bali regional ministerial conference on people smuggling, Trafficking inprrsons in related transnational craime (proses Bali) untuk kedua kalinya sebagai dasar signifikan dalam mengurangi kejahatan perdagangan dan penyelundupan manusia sebagai factor penting dalam menaikan posisi Indonesia. Proses balik setidaknya, dapat dinilai sebagai komitmen awal bagi pemerentah Indonesia dalam mengani masalah tersebut. Proses ini juga sekaligus menunjukan kesungguhan pemerentah menerjemahkan komitmen yang telah “diikatkan” dalam serangkaian aksi nasional.
Suatu kenyataan bahwa setiap bulan rata-rata 30 perempuan Indonesia yang berusia 15-25 tahun menjadi korban perdagangan perempuan (Trafficking) di berbagai wilayah di Malaysia. Kedatangan mereka ke negeri jiran melewati jalur Legal, tetapi menggunakan identitas palsu dipaspornya dan memakai visa kunjungan turis yang masa berlakunya 1 bulan. Semula mereka dijanjikan bekerja sebagai penaga di restoran took dan butik dengan gaji sekitar 3 juta perbula. Akan tetapi, ketika sampai di Malaysia mereka dijadikan pekerja seks. Selama Januari hingga Mei 2004 tercatat 1047 kasus Trafficking diberbagai tempat di Malaysia dan di KBRI pada bulan Juli 2004 sudah memulangkan 153 TKI bermasalah, 49 diantaranya korban eksploitasi seksual. Ada pula korban eksploitasi yang melarikan diri kemudian melaporkan diri ke polisi kemudian di tampung di kedutaan RI di Malaysia.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa kasus perdagangan manusia sangat amat berbahaya sebab eksploitasi seksual terdapat anak dan perempuan. Oleh karena perempuan untuk memberikan perlindungan terhadap hal anak tersebut diharapkan kepada pemerentah agar benar-benar mensosialisasikan persoalan ini supaya terhindar dari praktek perdagangan manusia. Adanya peraturan perundang-undangan untuk memeranginnya serta bersama-sama menanggulanginya. Kini ada daerah seperti Aceh Sumatra Utara dan Sulawesi Utara yang memiliki PERDA P3A dan Peska. Pemerentah Propinsi Jawa Barat mulai menganggarkan dana untuk pemulangan korban Traffiking sementara pemerentah Propinsi Jawa Timur sudah membentuk komisi perlindungan anak untuk mengatasi persoalan tersebut. Walaupun demikian upaya seperti ini saja tidak cukup sebab yang kita butuhkan sekarang adalah komitmen atau langkah aksi tindakan nyata secara makro dan menjadikan kebijakan nasional agar perdagangan manusia ini terjadi lagi dikamudian hari.
Kasus kejahatan perdagangan manusia bukanlah kasus pidana yang umum seperti yang diatur dalam KUHP, karena kejahatan perdagangan orang di sini sindikat perdagangannya tidak hanya dalam lingkup nasional tetapi juga sampai transional. Sehingga untuk kasus kejahatan perdaganagn orang di sini haruslah dirumuskan dalam suatu peraturan hokum yang tersendiri di luat KUHP nasional kita. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana upaya perlindungan yang harus diberikan kepada korban kejahatan perdagangan orang, agar korban kejahatan perdagangan orang di Indonesia dapat diminimalisir sedemikian sehingga korban mendapatkan hanya untuk dilindungi.

4. Faktor Penyebab Perdagangan Perempuan
Pembangunan ekonomi di negara miskin dipengaruhi golongan berkuasa di negara kapitalis maju (Baran 1957). Kemunduran dan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga ini dianggap sebagai hasil pergantungan negara tersebut ke dalam sistem ekonomi dunia. Keadaan ini dikenal juga sebagai perhubungan antara pusat dan pinggiran dimana negara-negara maju telah mengeksploit negara-negara pinggiran. Keadaan ini berlangsung sampai kepada tataran kehidupan di pedesaan. Menurut pendekatan struktur, kemiskinan yang terjadi di pedesaan berakar umbi kepada sistem produksi dan bukannya faktor internal individu tersebut (Frank 1978). Kekurangan ketiadaan sumber kebendaan menimbulkan halangan membuat dan menikmati pilihan di kalangan golongan miskin tersebut. Keadaan ini berimbas kepada munculnya perempuan-perempuan pedesaan yang miskin dan tidak berpenghasilan. Ketidak berdayaan perempuan-perempuan pedesaan tersebut telah dijadikan peluang oleh jaringan perdagangan haram untuk mengeksploit mereka.
Selain kemiskinan perempuan pedesaan, masih banyak lagi faktor-faktor penyebab perdagangan manusia. Sebab-sebab ini rumit dan seringkali saling memperkuat satu sama lain. Jika melihat perdagangan manusia sebagai pasar global, maka para korban merupakan sisi penawaran (persedian) dan para majikan yang kejam atau pelaku eksploitasi seksual mewakili permintaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dari sisi penawaran antara lain ialah kemiskinan, pendidikan dan ketrampilan yang rendah, kekurangan informasi, daya tarik standar hidup di tempat lain yang lebih tinggi, strukur sosial dan ekonomi yang lemah, kesempatan bekerja yang kurang, kejahatan yang terorganisir, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, diskriminasi terhadap perempuan, budaya patriarkhi, penegakan hukum yang lemah, korupsi pemerintah, ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan tradisi-tradisi budaya seperti perbudakan tradisional. Di beberapa masyarakat, sebuah tradisi memungkinkan anak ketiga atau keempat dikirim untuk hidup dan bekerja di kota dengan seorang anggota keluarga jauh (seringkali seorang “paman”), dengan janji akan memberi pendidikan dan pelajaran berdagang kepada anak. Dengan mengambil keuntungan dari tradisi ini, para pelaku perdagangan seringkali memposisikan diri mereka sebagai agen pekerjaan, yang membujuk para orang tua untuk berpisah dengan seorang anak, tetapi kemudian memperdagangkan anak tersebut untuk bekerja sebagai pekerja seks, pelayan rumah atau perusahaan komersial.
Di sisi permintaan, faktor-faktor yang membawa pada perdagangan manusia mencakup industri seks dan permintaan akan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi. Pariwisata seks dan pornografi telah menjadi industri dunia luas, yang difasilitasi oleh teknologi seperti internet, yang secara berlebihan memperluas pilihan-pilihan yang tersedia bagi para pelanggan dan memungkinkan adanya transaksi yang cepat dan hampir tidak terdeteksi. Perdagangan haram untuk tujuan prostitusi ini semakin tumbuh subur karena keuntungannya sangat luar biasa. Perdagangan manusia juga ditimbulkan oleh adanya permintaan global atas tenaga kerja yang murah, rentan, dan illegal.
Fenomena perdagangan perempuan ini telah membuahkan berbagai bentuk eksploitasi yang dialami para migran. Ianya dapat terjadi sejak mereka diberangkatkan dari daerah asal hingga ke negara tujuan dan ketika pemulangan terjadi. Bentuk-bentuk eksploitasi tersebut meliputi pencaloan administrasi, pemberangkatan dan penyelundupan, penipuan atas pekerjaan, pemaksaan pekerjaan, jerat hutang, pelecehan seksual dan pemotongan gaji (Demmallino & Wicaksono 2004). Semua bentuk-bentuk eksploitasi tersebut bercampur aduk antara eksploitasi ekonomi, seksual, fisik dan psikis.
1. Penipuan
Unsur penipuan terhadap para migran terjadi dalam proses keberangkatan migran dari daerah asal sampai ke daerah tujuan, dan juga sewaktu pemulangannya pun masih tidak luput dari penipuan. Perekrut menipu dengan berbagai macam janji, dari janji mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak sampai janji untuk mendapatkan bantuan finansial untuk keperluan keluarga calon migran. Biro perjalanan juga menipu melalui percaloan tiket, paspor, penginapan dan KTP. Kemudian pada proses penyebrangan, pihak penyelundup sering berkolusi dengan polisi lintas batas dalam melakukan kegiatan yang merugikan para migran. Sementara itu, pihak penyalur di daerah tujuan menipu pekerja migran dengan menjerumuskan pada pekerjaan ilegal, pemotongan gaji, perlindungan semu bila ada penggrebegan oleh kepolisian setempat, penginapan dan lain-lain.
2. Pemaksaan pekerjaan sebagai pelacur
Kasus eksploitasi terhadap pekerja migran terjadi pada tataran asusila kerana mereka diperjualbelikan dalam kasus perdagangan perempuan untuk prostitusi. Sebagai contoh, seorang koordinator perekrut yang berhasil menyeberangkan migran ke Malaysia memperoleh keuntungan 2.5 juta rupiah per orang. Jumlah ini belum termasuk royalti per bulan yang besarnya tergantung dari banyaknya pelanggan di Malaysia. Perekrut di daerah asal juga juga memperoleh keuntungan yang besarnya 1.5 juta rupiah per orang. Penadah yang mengelola lokalisasi memperoleh fee secara berjenjang atau berdasar kelas pelacur. Keuntungan terbesar diperoleh ketika seorang penadah mendapat migran yang perawan, yang biasa ditawar dengan harga 6 juta rupiah per orang (harga sebelum krisis moneter).
3. Pelecehan seksual
Di samping penipuan dan pemaksaan pekerjaan sebagai pelacur, migran sering mendapat pelecehan seksual. Sebagai contoh, seorang pekerja migran perempuan yang mengaku perawan dijual ke cukong seharga 6 juta rupiah dan harus “dites” lebih dahulu oleh cukong tersebut. Bila ternyata perempuan tersebut tidak perawan, maka cukong tidak membayarnya meskipun untuk biaya uji coba. Posisi perempuan menjadi tersudut karena penilaian keperawanan sangat subjektif dari cukong. Kasus pelecehan seksual yang lain yang sering dialami pekerja migran tersebut ialah jika terjadi penggrebegan atau razia oleh Polis Diraja Malaysia. Untuk menghindar dari razia terkadang terdapat beberapa orang pekerja migran ilegal mengaku istri dari seorang laki-laki yang ditunjuk sebagai suami mereka. Sebagai imbalannya lak-laki tersebut harus dibayar dengan sejumlah uang, termasuk didalamnya sogokan ringgit yang harus dibayarkan kepada oknum kepolisian Malaysia dan dibayar dalam bentuk hubungan seks.
4. Jerat hutang dan pemotongan gaji
Pekerja migran terjerat hutang sejak dari pemberian bantuan dari awal perekrutan, biaya perjalanan, sampai yang bersangkutan belum bekerja di negara tujuan. Seluruh biaya tersebut dihitung sekurang-kurang 2 atau 3 kali lipat dari total pembiayaan. Hutang ini kemudian dicicil melalui pemotongan gaji dalam beberapa bulan bahkan ada yang bertahun-tahun.
5. Penularan penyakit
Perdagangan perempuan akan memberi dampak yang sangat membimbangkan dari sudut kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Ia membawa resiko penyakit kelamin dan HIV/AIDS yang dapat merebak dengan begitu pantas di kalangan masyarakat. Tentu sekali keadaan ini membawa dampak negatif kepada keharmonian kehidupan individu, keluarga pada umumnya dan seterusnya kepada seluruh masyarakat Indonesia-Malaysia. Hakekatnya keadaan ini membawa akibat yang buruk terhadap pembinaan generasi masa depan Negara.

8. PROSTITUSI
Tokoh postmodern, Michel Foucault, menyatakan, setelah ada keterbukaan telah terjadi represi modern atas seksualitas, dan represi itu terkait erat dengan kapitalisme. Kehadiran perempuan di sektor publik dalam sistem kapitalisme tidak sebatas pada kemampuan berpikir dan bertindak, melainkan juga dimanfaatkan sebagai obyek kepuasan. Oleh karena itu, membanjirnya kaum perempuan yang bekerja di sektor publik tidak dapat dengan serta-merta dijadikan indikator peningkatan peran atau status perempuan.
Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain "privat" ke domain "publik"; dari yang sakral ke yang profan, bukan sekadar pergeseran fungsi reproduktif perempuan dari prokreasi ke rekreasi atau pergeseran dari ritual ke ekspresi identitas dan gaya hidup (Shiling, 1993).
Berbagai iklan yang memanfaatkan tubuh perempuan umumnya didahului oleh penonjolan citra atau image yang membangkitkan mimpi dan fantasi. Sketsa ringkas ini hanya sekadar menunjukkan bahwa proses transformasi dalam struktur masyarakat yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi, tidak otomatis mengangkat derajat kaum perempuan. Atau dengan kata lain, peningkatan status hanya berhenti pada tataran yang paling artifisial.
Selanjutnya berkaitan dengan pelacuran, Eviota (1992) mengatakan bahwa relasi seksualitas adalah relasi sosial yang merupakan relasi kekuasaan tempat kaum lelaki mengontrol seksualitas perempuan. Lelaki adalah pihak yang dominan baik secara seksualitas dan sosial. Penggunaan alat kontrasepsi yang 90 persen lebih digunakan oleh kaum perempuan dan tuntutan adanya keperawanan (dan bukan keperjakaan), misalnya, menunjukkan domain kekuasaan itu.
Foucault dalam History of Sexuality (1976) menuding bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dari diskursus plural (discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparatus seksualitas sampai abad ke-20.
Analisis Foucault tentang kuasa sebagai proses yang menghasilkan bentuk-bentuk tertentu seksualitas dan penanaman kuasa pada tubuh perempuan telah memberikan perspektif baru bagi kaum feminis bahwa seksualitas dan hubungan seksual disusun secara sosial.

Selir dan "jajan"
Dalam konstruksi Foucault, perempuan berada dalam posisi obyek, baik obyek seksualitas maupun obyek penimpaan kesalahan. Laki-laki cenderung menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada siapa pun (dalam hal ini, perempuan) yang dikehendaki. Ini mengandaikan pada umumnya perempuan berada dalam posisi pasif sehingga kalau ada hal yang tidak berkenan (pada si lelaki), lelaki menggunakan hal itu untuk alasan "jajan".
Demikian pula dalam tradisi raja-raja Jawa. Selir-selir merupakan "ritual" yang dianggap penting bagi kepuasan sang raja. Kenyataan ini makin memperkuat tesis Foucault di atas (Jones, dkk. 1995). Jones juga mengatakan, perempuan yang dijadikan komoditas sudah berlangsung turun-temurun.
Hasil penelitian Kuntjoro (1995) menunjukkan, sebagian besar masyarakat yang "memproduksi" pelacur seperti di daerah Mojo Tengah, Indramayu, atau daerah-daerah lainnya di Jawa Timur menganggap anak perempuan cantik ibarat "sawah". Makin cantik si anak berarti makin besar "sawahnya". Bahkan, sang bapak atau suami tak malu-malu lagi mengantarkan anak atau isterinya kepada para germo.
Seorang WTS yang dikutip Tiras (16/3/1995) mengatakan: "Bagi tetangga saya tidak ada masalah saya kerja apa di Jakarta, punya suami atau tidak, sebab pada umumnya perempuan Indramayu setelah musim paceklik dan setelah cerai dari suaminya lari ke Jakarta. Bahkan, di sini tidak aneh jika seorang bapak mengantarkan sendiri anak-anaknya yang cantik ke Kramat Tunggak!". Sketsa tersebut menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang tidak berhenti pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran "kultur" masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya hidup, "tradisi" setempat, juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut.
Hal-hal itulah yang ditangkap para cukong atau para "penyalur" dengan memanfaatkan jaringan yang sangat rapi dan tak jarang malahan didukung oleh "backing" aparat keamanan. Profesi seperti itu amat menggiurkan karena beban pekerjaannya relatif mudah dilakukan dan hasilnya sangat banyak. Mengingat demikian luas jaringannya, tidak mengherankan jika kasus-kasus perdagangan anak-anak perempuan yang akan dipekerjakan sebagai pelacur susah untuk dibongkar, meskipun sebenarnya hukum bisa menjeratnya.
Namun, apa yang bisa diharapkan dari penegakan hukum? Di negeri ini segala hal yang menyangkut masalah hukum bisa diperjualbelikan, kecuali kasus-kasus hukum yang dilakukan oleh masyarakat kecil yang tidak memiliki sumber daya keuangan. Justru dengan semakin beratnya tuntutan, "bisnis" hukum semakin menggiurkan karena semua mata rantai proses hukum bisa ditutup mulutnya dengan imbalan uang. Repotnya, banyak aparat hukum, seperti hakim, saksi, pembuat BAP (polisi) atau jaksa, senantiasa mengawali ucapannya dengan kalimat "demi Tuhan". Tuhan saja diperjualbelikan, apalagi "hanya" anak gadis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar